Rabu, 30 Maret 2011

Apa sih Bilingualisme dan Diglosia itu??

Mungkin banyak teman-teman ada yang masih bingung dengan pengertian bilingualisme dan diglosia, materi ini ada pada mata kuliah sosiolinguistik pada program studi bahasa dan sastra indonesia. Ini penjabaran dari bilingualisme dan diglosia...

A. Bilingualisme
Istilah bilingualisme (inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kdwibahasaan. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa ole4h soerang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey,1962: 12, fishman 1975:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseoran harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B 1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B 2).

Setiap bahasa di dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas digunakan, melainkan harus diperhatikan fungsinya masing-masing. Umpamanya, di Indonesia penutur bilingual bahasa sunda (B1) – bahasa Indonesia (B2), hanya bisa menggunakan bahasa sundanya untuk percakapan yang bersifat kekeluargaan, dan tidak dapat menggunakannya untuk berbicara dalam siding DPR. Keadaan di dalam masyarakat di mana adanya pembeda penggunaan bahasa berdasarkan fungsinya atau peranannya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia.

B. Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi sosiolingustik setelah digunakan oleh seorang swarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “diglosia”.

Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat du variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetangahkan sembilan topik:
1)      Fungsi
Merupakan kriteria diglosia yang sangat pentin. Menurut ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R).

2)      Prestise
Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menggunakan dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malahan ada yang menolak keberadaannya.

3)      Warisan Kesusastraan
Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T. tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu tetap berakar, baik di Negara-negara berbahasa arab, bahasa yunani, bahasa prancis, dan bahasa jerman.

4)      Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.

5)      Standardisasi
 Ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.

6)      Stabilitas
Kesetabilan dalam masyarakat diglosia biasanya telah berlangsung lama, dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.

7)      Gramatika
Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R diangap artificial.

8)      Leksikon
Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya.

9)      Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan structural antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.

 Pakar sosiologi yang lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep  broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara du bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara binern melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fingsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.

C. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
 Kalau diglosia diartikan sebagai adanya perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa (terutama fungsi T dan R) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat. Adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia, yaitu :
1)      Bilingualisme dan diglosia
2)      Bilingualisme tanpa diglosia
3)      Diglosia tanpa bilingualisme
4)      Tidak bilingualisme dan tidak diglosia

3 komentar:

Irly mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Irly mengatakan...

Wah...kalau bilingual seh dah umum ya, tapi saya baru tau tentang diaglosia itu...pengetahuan baru...Makasih :)

Deddy Suryadi mengatakan...

mudah-mudahan bermanfaat Irly,,jurusan bahasa indonesia juga ya???

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons