Merenung, kelihatannya perbuatan ini sepele. Tetapi lihatlah bagaimana orang-orang besar menjadikan kerja merenung ini sebagai bagian dari hidupnya. Einstein, Steven Hawking adalah diantara mereka – ilmuan dunia – yang tak pernah lepas dari aktivitas merenung atau yang sering kita sebut dalam Islam sebagai tafakur (bisa
disebut begitu).
Dalam buku Ideas and Opinions, Einstein berkata: “Kita ini mirip seorang anak yang masuk ke sebuah perpustakaan besar, penuh dengan buku dalam berbagai bahasa. Anak itu tahu bahwa pasti ada seseorang yang pernah menulis buku-buku itu. Secara samar-samar, si anak menduga adanya keteraturan misterius dalam penyusunan buku-buku itu, tetapi ia tak tahu bagaimana”.
Selanjutnya ia mengatakan,”Bagi saya, itulah sikap yang sesungguhnya dari bahkan orang yang paling cerdas sekalipun terhadap Tuhan. Kita melihat alam semesta disusun dengan sangat menakjubkan dan mematuhi hukum-hukum tertentu. Tetapi, kita hanya memahami hukum itu secara samar-samar saja. Pikiran kita yang terbatas tak dapat menangkap kekuatan misterius yang menggerakkan semesta.”
Inilah hasil kerja merenung dari seorang ilmuan meskipun ia tetap tersesat jalan lantaran tidak beriman tetapi coba bayangkan seandainya kerja merenung ini dimiliki oleh setiap insan beriman, tidakkah itu cukup untuk menambah keimanannya? Mengubah perilaku dan tujuan hidupnya?
Rasulullah SAW, manusia yang menduduki urutan teratas dari seratus tokoh yang paling berpengaruh di dunia, juga tak lepas dari aktifitas merenung atau tafakur ini. Bahkan pernah diceritakan rambut Rasul yang mulia beruban ketika menerima ayat tentang perlunya tafakur baik dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring memikirkan penciptaan langit dan bumi. Ayat itu di tutup manis dengan ”Rabbana ma kholaqta haada bathilan subhaanaka faqina adzabannar”.
Merenung adalah kerja cerdas. Karenanya potensi akal kita berdayakan, mencoba menggali hikmah dibalik semua penciptaan. Ayat-ayat kauninyah seolah dihamparkan oleh Allah SWT di depan mata kita, namun sayang hanya manusia-manusia cerdas (mau menggunakan akalnya - ulil albab dalam bahasa Qur’an ) yang bisa mengambil semua pelajaran yang diberikan-Nya. Semuanya ada hikmahnya. Semuanya memiliki tujuan tentang arti cinta-Nya. Lihatlah secara berulang, adakah ketidakseimbangan yang tampak di alam ini?
Merenung adalah kerja cerdas. Karenanya potensi akal kita berdayakan, mencoba menggali hikmah dibalik semua penciptaan. Ayat-ayat kauninyah seolah dihamparkan oleh Allah SWT di depan mata kita, namun sayang hanya manusia-manusia cerdas (mau menggunakan akalnya - ulil albab dalam bahasa Qur’an ) yang bisa mengambil semua pelajaran yang diberikan-Nya. Semuanya ada hikmahnya. Semuanya memiliki tujuan tentang arti cinta-Nya. Lihatlah secara berulang, adakah ketidakseimbangan yang tampak di alam ini?
"Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?" (Al Mulk: 3).
Sisi lain merenung
Seorang pemuda (Muhammad – begitu ia dipanggil) menjelang dua pertiga umurnya harus rela pergi bolak-balik makkah-gua hira demi sebuah kebiasaan mulia, merenung. Tiga tahun bukanlah waktu yang pendek, tetapi demi mengobati jiwanya yang terus berguncang melihat jarak yang jauh antara realitas kehidupan di kota Makkah dengan cita-cita kehidupannya. Ada ketidakpuasan yang membawa jiwanya melangkah ke goa itu, tapi juga ada kegamangan yang menenggelamkannya dalam renungan-renungan panjang.
Saya pribadi bertanya pada diri saya sendiri,”Sudahkah saya terlibat dalam renungan-renungan panjang melihat fenomena jauhnya idealita dan realitas kehidupan dikantor tempat saya bekerja?”, ”Sudahkah saya menyumberkan semua kegelisahan itu menjadi kerja-kerja produktif untuk menyelamatkan mereka?” Adakah saya memiliki gejolak maha dahsyat yang menggoncang-goncang batin orang sholeh ketika mendapati
kemungkaran tetapi ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa?
Allah, sesungguhnya tangga kehidupan ini penuh liku-liku, tanamkan dalam jiwaku sebuah perasaan baru, sebuah hasrat baru, sebuah kecenderungan baru, sebuah kegemaran baru; Allah, jadikan aku mencintai khalwat, punya kegemaran menyendiri dan menikmati meditasi-meditasi yang tekun, dalam renungan-renungan panjang yang serius, dalam pemikiran-pemikiran mendalam yang mencerahkan, yang dengannya aku bisa membebaskan sekian banyak orang dari tawanan zaman.
1 komentar:
Istimewa Kang.. Terima kasih atas postingannya yang bagus n bermanfaat.. :D
Posting Komentar