Di antara nilai-nilai Islam yang terpenting adalah kebebasan. Dianggap penting karena merupakan anugerah Ilahi untuk semua manusia sejak lahir sampai mati, agar bisa menempuh suatu jalan untuk mencari keimanan yang benar.
Banyak manusia yang salah mentafsirkan makna kebebasan ini. Di negara-negara liberal, kebebasan dipandang sebagai hak asasi untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan hawa nafsunya tanpa ada larangan atau hambatan dari fihak manapun. Kebebasan dijadikan sebagai alat legitimasi untuk melakukan apa saja sesuai dengan syahwatnya. Manusia yang demikian sebenarnya telah menjadi budak hawa nafsu. Pada saat ini pun, tidak sedikit orang yang salah mengejawentahkan makna kebebasan ini. Ada yang mengira bahwa kebebasan berarti bertindak semaunya sendiri untuk menciptakan kerusuhan atau menjarah milik orang lain. Perbuatan demikian tak lain hanyalah ciri budak nafsu dan iblis.
Agama Islam diturunkan untuk menjamin terealisirnya kebebasan bagi manusia dan melindungi kebebasan tersebut dari penyalah gunaan dan pemaksaan, baik dalam kebebasan beragama, kebebasan berpolitik dan kebebasan berfikir atau mengemukakan pendapat.
Dalam perspektif Islam, kebebasan adalah keadaan dimana seorang manusia hanya sebagai hamba Allah saja baik dalam perilaku, perasaan, moral dan semua aspek kehidupannya. Sendi kebebasan dalam Islam adalah kebebasan emosional, karena kebebasan mutlak sebenarnya cuma milik Allah SWT. Lain dari itu, bentuk kebebasan hakiki lainnya bagi setiap insan, sebenarnya tidak ada. Setiap manusia tidak bisa bebas secara mutlak, ia akan terikat dengan orang lain atau dibatasi oleh situasi dan kondisi.
Manusia akan mendapatkan suatu kebebasan emosional mutlak kalau bisa melepaskan diri dari lima macam penghambaan.sbb.:
1) Membebaskan diri dari penghambaan figuritas atau pengkultusan individu.(lih. S. Ali Imran 64, Al Jinn 20-24, Ali Imran 144, Al Maidah 17).
2) Islam tidak pernah mengenal ajaran pengkultusan individu atau sistem figuritas. Manusia dalam pandangan Islam adalah sama bagai gerigi sisir. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan kepada Allah, bukan karena turunan jabatan, kekayaan atau lainnya. Seorang Nabi sekalipun tidak boleh dikultuskan. Allah melarang orang-orang Nasrani untuk menuhankan Isa a.s.
3) Melepaskan diri dari penghambaan terhadap rasa takut akan kehidupan, rizki dan kedudukan.
4) Secara emosional, orang yang tidak takut terhadap kehidupan, rizki dan kedudukan, akan merasa bebas dari berbagai tekanan batin dan kegelisahan. Mengapa harus diperhamba oleh kehidupan ini, kalau Allah sudah menjamin rizki hambaNya dan mengurusi makhlukNya? (lih. S. Quraisy 3-4, Al An’am 15, Ar Ra’d 26, Al Ankabut 60 ). Rasa takut dari kemiskinan merupakan bisikan syetan untuk melemahkan jiwa dan menjauhkan diri dari keyakinan kepada Allah dan kebaikan. ( lih. Al Baqarah 268).
5) Menjauhi penghambaan terhadap nilai-nilai sosial, nilai harta, jabatan dan ikatan nasab.( Thoha 131, Saba’ 35-37, At Taubah 55.)
6) Bila perasaan manusia diperhamba oleh nilai-nilai tersebut ia tidak akan memiliki kebebasan ketika berhadapan dengannya. Nilai-nilai sosial harus diposisikan secara proporsional sehingga tidak mengikat kebebasan emosionalnya. Kekayaan atau banyaknya anak tidak menjadikan seseorang lebih dekat kepada Allah atau lebih tinggi kedudukannya kecuali bagi orang yang beriman dan beramal sholih. (lih Saba’ 35-37).
7) Membebaskan diri dari penghambaan hawa nafsu dan syahwat yang datang dari luar atau datang dari dalam dirinya.
8) Penghambaan demikian diungkapkan Allah antara lain dalam surat Attaubah ayat 24. Ayat ini mengumpulkan berbagai kesenangan, ambisi dan kenikmatan yang sering menggoda manusia sehingga bisa mengalihkan dirinya dari cinta kepada Allah, Rasul dan jihad fisabilillah. Manusia yang bisa melepaskan dari berbagai godaan syahwat di atas akan memiliki kebebasan emosional dalam menghadapi semua hal.
Dalam Islam, kita mengenal beberapa macam kebebasan yang dilindungi Islam, yaitu: Kebebasan beragama, kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat, Kebebasan politik dan kebebasan sipil.
Kebebasan beragama tercermin dalam beberapa hal :
- Tidak boleh memaksa seseorang untuk meninggalkan agamanya atau memaksa untuk menganut agama tertentu.
- Memberikan kebebasan kepada non muslim untuk melaksanakan ibadah dan semua aktivitas ritualnya.
- Membiarkan mereka utnuk memakan atau meminum apa-apa yang dibolehkan oleh agamanya.
- Memberi kebebasan non muslim untuk melaksanakan semua aturan tentang masalah nikah, talak , rujuk, pemberian nafkah dsb.
Berkaitan dengan kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat, Islam telah menganjurkan kita untuk menggunakan akal dan fikiran dan mengangkat kedudukan ilmu pengetahuan. (lih. Al A’raaf 185, Al Baqarah 219, 220) Luas sekali Islam memberi kebebasan berfikir ini, sampai-sampai menolak iman yang lahir karena ikut-ikutan atau dipaksa . Kalau Islam membebaskan berfikir secara luas maka secara aksiomatis dibarengi dengan kebebasan mengemukakan pendapat baik dengan lisan atapun pena. Hal ini dikaitkan erat dengan kewajiban menyampaikan dakwah kepada umat manusia.
Rasulullah saw menganjurkan kita untuk menyampaikan yang hak dalam kondisi apapun walaupun mungkin akan membuat penguasa marah besar. Beliau berkata : “Orang yang diam tidak menyampaikan yang hak bagaikan syetan bisu”. Konsekwensi dari ajaran kebebasan ini umat Islam terdahulu tidak pernah merasa takut untuk mengoreksi setiap kesalahan yang terjadi walaupun datangnya dari para penguasa. Umar bin Khattab pernah diluruskan oleh seorang wanita ketika berpendapat tentang keharusan memperingan maskawin dalam pernikahan. Beliau terpaksa menarik pendapatnya ketika pendapat wanita tsb benar dan berdasar surat AN Nisa’ 20.
Satu-satunya kebebasan berfikir dan berpendapat yang dilarang oleh Islam adalah ajakan untuk melemahkan agama dan merusak moral atau mempropagandakan dosa dan kesyirikan.
Berkenaan dengan kebebasan Sipil yang diajarkan Islam a.l.: Kebebasan untuk berinteraksidengan orang lain, kebabasan melakukan transasi, kebebasan untuk memiliki dan kebebasan untuk memilih spesialisasi keilmuan yang akan digelutinya.
Sedangkan kebebasan berpolitik dalam Islam dilukiskan dalam bentuk kebebasan untuk ikut serta dalam pemerintahan dan memilih penguasa di samping kebebasan untuk mengawasi semua kegiatannya , mengoreksinya dan mengajukan saran yang baik terhadapnya. Keikutsertaan dalam pemerintahan dan pemilihan penguasa merupakan konsekwensi logis dari kaedah syura yang dijadikan asas hubungan antara rakyat dengan penguasa. Sedangkan kebebasan untuk mengawasi dan mengoreksi semua aktivitas penguasa merupakan kelanjutan dari kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Para penguasa muslim terdahulu telah menegaskan nilai-nilai kebebasan ini dalam pemerintahannya sebagaimana tercermin dalam pidato Abu Bakar Shiddiq ketika dibaiat, atau beberapa pidato Umar bin Khattab dan prilaku para penguasa muslim lainnya yang memegang teguh prinsip-prinsip ajaran Islam.
Di era reformasi sekarang ini kita perlu mengukuhkan kembali nilai-nilai kebebasan yang dianjurkan Islam dalam rangka mewujudkan keadilan dan menegakkan kebenaran dalam masyarakat. Wallahu a’lam.